Kolong Ruangan di Langit-Langit Creepypasta



Perkiraan waktu membaca Menit

Edit

Crawlspace: kolong atau ruangan dengan langit-langit yang sangat rendah, bertujuan untuk memberikan akses kepada pekerja bangunan untuk memperbaiki pipa atau saluran air dengan cara merangkak di dalamnya.
RUANG RANGKAK
Penulis: Katie H.
Halo semua. Aku menulis cerita ini sebagai peringatan bagi kalian yang berencana hendak belajar ke luar negeri. Aku tak berniat untuk menakut-nakuti kalian agar tidak pergi, namun aku hanya ingin kalian waspada supaya hal yang sama tidak terjadi pada kalian.

Kurasa aku harus menjelaskannya sedikit awal mulanya. Aku terpilih untuk berpartisipasi dalam program pertukaran pelajar selama beberapa bulan di kota Roma. Tentu saja aku merasa sangat gembira karena aku belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Jadi ini benar2 akan menjadi petualangan bagiku.

Aku mengepak barang2ku dan haru kuakui, aku sedikit gugup sebab ini pertama kalinya aku meninggalkan orang tuaku dalam waktu yang cukup lama. Namun aku juag sangat excited menantikan kebebasanku selama tinggal di Eropa. Dan akupun terbang selama 19 jam menuju Eropa.

Di bandara, aku disambut oleh supervisor program pertukaran pelajar tersebut dan beberapa siswa lain yang akan belajar bersamaku. Mereka semua seumuran dan tampak sama bersemangatnya sepertiku. Setelah melalui orientasi, kamipun diberikan kunci apartemen kami.

Beberapa bulan sebelum tiba di Roma, kami bertanggung jawab untuk menemukan apartemen yang akan kami tinggal secara online. Aku sudah memutuskan akan tinggal bersama 3 orang gadis lainnya. Mereka semuanya tampak baik dan karena kami sama2 memiliki budget terbatas, akhirnya kami mencoba mencari apartemen termurah yang bisa kami dapatkan.

Setelah beberapa hari mencari, kami menemukan iklan sebuah apartemen tua di Campo di Fiori. Kami benar2 tak percaya masih ada apartemen yang tersedia di sana dengan harga yang sangat murah. Semula aku sempat merasa curiga. Namun akhirnya kami tidak memiliki pilihan lain selain menyewa apartemen itu

Kami menerima satu set kunci beserta peta agar kami menemukan letaknya. Campo merupakan tempat yang cukup dikenal di Roma sehingga kami tak kesulitan mencarinya. Tempat ini benar2 luar biasa. Ketika siang, tempat ini dipenuhi dengan pedagang dan ketika siang, suasana ganti dimeriahkan oleh musisi jalanan. Semua bangunan2 di sini semua tampak tua dan setelah 3-4 kali berputar-putar, akhirnya kami menemukan sebuah pintu kayu tua yang amat besar. Tempat ini akan menjadi rumah kami untuk 3 bulan ke depan.

Aku memutar kunci hingga terdengar “klik” dan pintu tebal itu berayun ke dalam dengan suara berdecit yang keras. Kami kemudian menemukan sebuah tangga spiral yang panjang. Kami semua mengeluh. Tentu saja, seharusnya terlintas di pikiran kami. Karena apartemen ini amat tua, maka belum ada lift di sini. Maka kami harus menaiki tangga demi tangga yang tampak tak berujung, ditambah lagi saat itu kami harus membawa barang bawaan kami yang cukup berat.

Akhirnya kami tiba di depan pintu kamar apartemen kami dan masalah lain muncul begitu kami masuk. Hanya ada 3 kamar di sana, sedangkan kami berempat. Ini berarti dua dari kami harus berbagi satu kamar. Akhirnya dengan undina, aku dan seorang gadis bernama Stephanie akan berbagi kamar. Aku tak keberatan karena Stephanie tampak seperti gadis yang baik dan pendiam, benar2 teman sekamar yang ideal.

Selain 3 kamar tidur terdapat 2 kamar mandi, sebuah dapur, dan ruang tamu dengan satu set televisi kuno. Sekali lagi aku merasa kurang nyaman. Mengapa kamar sebagus ini memiliki harga sewa yang sangat murah. Kami kemudian menyadari ada bagian lain dari apartemen ini yang belum kami jelajahi. Terdapat sebuah lorong gelap dengan sebuah mesin cuci dan mesin pengering. Di belakang, terdapat sebuah pintu yang ternyata menuju kamar mandi utama.

Kami berempat langsung memperebutkan kamar mandi itu. Betapa tidak, kamar mandi itu amat luas dan lengkap. Ada sebuah bathub besar yang tak tedapat di kamar lainnya. Akhirnya Stephanie mengusulkan bahwa karena aku dan dia harus berbagi kamar, maka masuk akal jika kami berdua yang seharusnya mendapatkan kamar mandi itu. Semua setuju dan awalnya aku merasa sangat senang.

Namun perasaan itu berubah beberapa hari kemudian. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Namun tiap kali aku menggunakan kamar mandi itu, aku merasakan sesuatu tengah mengawasiku. Perasaan itu membuatku sangat tegang. Aku merasa, apapun yang tengah mengawasiku aku, ia sedang marah. Dia tidak menginginkan aku berada di sana dan ia ingin menyakitiku.

Aku mulai mencoba menghindari kamar mandi itu. Aku meminta Alisha, temanku yang lain, untuk bertukar kamar mandi. Aku beralasan kamar mandi utama terlalu jauh dari kamarku. Ia dengan senang menyanggupinya. Namun suatu malam, saat aku sedang menggosok gigi, aku mendengar Alisha sedang memakai kamar mandinya. Aku mendengar suara cekikikan dari ujung lorong. Pastilah dua temanku yang lain sedang menggunakan kamar mandi utama. Kurasa untuk sekali-kali tak apa-apa menggunakannya, pikirku. Lagipula ada teman2ku di sana.

Akupun bergabung dengan mereka. Hingga di tengah percakapan, tanpa sengaja Lindsay, temanku yang lain, bersandar pada dinding dan menyadari sesuatu. Di dinding kamar mandi, terdapat sebuah pintu yang tak pernah kami sadari keberadaannya. Bahkan pintu itu dicat dengan warna yang sama dengan dinding. Jelas sang pemilik apartemen tak ingin kami menemukannya. Karena penasaran, kami mencoba membuka pintu itu. Awalnya sulit, namun dengan bantuan pisau lipat, kami akhirnya berhasil membuka pintu itu.

Di baliknya terdapat sebuah ruang rangkak. Ukurannya cukup besar. Menurut perkiraanku, ruang itu bisa memuat 3 atau 4 orang. Stephanie dan Lindsay kemudian memanggil Alisha untuk melihat penemuan ini. Akhirnya kami menggunakannya sebagai tempat menyimpan handuk dan keranjang cucian.

Namun pada hari2 kemudian, semenjak kami menemukan ruang rangkak itu, situasi berubah dari “menakutkan” menjadi “sangat menyeramkan”. Alisha lebih sering menggunakan kamar mandinya sendiri, sehingga aku akhirnya terpaksa kembali menggunakan kamar mandi utama. Ruangan itu membuatku menjadi paranoid, bahkan suara sekecil apapun akan membuatku melompat karena terkejut.

Puncaknya ketika suatu malam aku sedang menggosok gigi sendirian di dalam kamar mandi itu, aku mendengar suara gemerisik yang sangat pelan. Seperti ada yang sedang bergerak dari dalam ... ruang rangkak. Aku terdiam membeku, teror mengisi benakku. Aku segera berlari keluar dan memanggil teman-temanku.

“Ada sesuatu ... di dalam ruang rangkak ...”

Teman2ku segera menemaniku masuk ke kamar mandi untuk memeriksanya. Kami kemudian menyadari bahwa jendela kamar mandi dalam keadaan terbuka. Stephanie rupanya lupa untuk menutupnya ketika menggunakan kamar mandi ini terakhir kali. Dan di luar kami melihat beberapa merpati di atap, tepat di atas jendela kamar mandi.

Mereka semua tertawa dan kembali ke kamar mandi masing2.

Mereka semua menganggap suara gemerisik yang kudengar berasal dari merpati2 itu, namun tidak. Tidak mungkin. Sebab saat aku meninggalkan kamar mandi, pintu ruang rangkak dalam keadaan tertutup.

Dan sekarang terbuka.

Jika memang merpati2 itu yang tadi berada di dalam ruang rangkak, bagaimana mereka masuk? Dan bagaimana mereka keluar?

Malam itu aku merasa ada sesuatu yang sangat aneh terjadi di apartemen ini. Akupun menghubungi sahabatku yang ada di Amerika dengan menggunakan skype. Untunglah dia mau mendengarkanku dan bahkan tak sedikitpun meragukan ketakutanku. Kemudian ia meminta foto dari ruang rangkak itu untuk memastikan. Akupun melakukan apa yang ia minta. Aku membawa kameraku dan menuju ke kamar mandi, lalu mengumpulkan semua nyaliku untuk memfoto bagian dalam ruang rangkak itu, lalu segera berlari kembali ke kamarku. Aku menghubungkan kameraku dengan komputer dan mengunggah foto itu. Ketika aku kahirnya membuka gambar itu, aku langsung membeku.

Di pojok kanan atas ruang rangkak itu, di dalam kegelapan, terlihat samar2 sebuah wajah, memamerkan gigi2nya.

Tubuhku langsung gemetaran.

Rasa takut mulai mengambil alih tubuhku. Seseorang telah mengunci makhluk itu di dalam ruang rangkak itu.

Dan kami membebaskannya.

Rasa panik menguasaiku hingga aku tak sadar teman sekamarku telah kembali. Aku segera mengunci pintu dan ketika Stephanie bertanya, aku hanya tertawa dengan gugup dan mengatakan bahwa Lindsay menyelinap masuk ke kamar kami dan mengambil Nutella-ku. Ia hanya tertawa dan membaringkan tubuhnya ke atas ranjang untuk tidur. Aku tak mau tidur. Aku tak mau membuatnya merasa takut seperti yang aku rasakan kini.

Akupun mulai mencoba tidur. Dan satu2nya yang bisa membuatku menutup mata malam itu adalah rasa aman karena keberadaan teman sekamarku. Namun rasa aman yang kurasakan saat itu terbukti palsu.

Sekitar jam 2 pagi, sebuah suara membangunkanku. Aku selalu mudah dibangunkan oleh suara sekecil apapun. Dan suara itu terdengar seperti suara pintu didorong terbuka, diikuti suara langkah kaki yang sangat pelan. Arahnya bukan dari kamar Alisha maupun Lindsay. Arahnya dari dalam lorong. Dari dalam kamar mandi utama.

Mungkin dari ruang rangkak itu.

Rasa takutku memuncak ketika langkah kaki itu terdengar mendekati kamarku.

Aku bisa melihat dari sela-sela yang ada di bawah pintu kamarku, sebuah bayangan tengah berdiri di luar kamarku.

Aku tak berani bergerak.

Apapun itu, ia hanya berdiri saja di luar pintu.

Puncaknya ketika aku mendengar suara kenop kamar pintu diputar dari luar.

Makhluk itu mencoba masuk ke kamarku.

Tiba2 Stephanie terbangun dan menyuruhku berhenti membuat suara itu. Ia mengatakan ini sudah malam. Namun aku menjawab, bukan aku yang melakukannya. Namun ia tak peduli dan kembali tidur.

Mungkin mengetahui Stephanie terbangun, suara itu berhenti.

Hari berikutnya, aku menemuiku supervisorku dan mengatakan bahwa aku harus pulang hari itu juga. Ia kelihatan bingung dan mencoba mengatakan bahwa “homesick” memang sering terjadi dalam pertukaran pelajar semacam ini, namun lama-kelamaan perasaan itu akan menghilang. Namun aku tak peduli, bahkan meminta orang tuaku untuk memesan tiket penerbangan kembali ke Amerika untuk besok pagi. Walaupun kebingungan, orang tuakupun menyanggupinya.

Ketika kembali ke apartemen, aku mencoba mengatakan apa yang terjadi pada ketiga temanku. aku menceritakan semuanya bahkan menunjukkan foto yang kuambil. Namun tak ada yang percaya kepadaku. Mereka menganggapku seakan aku gila bahkan menuduhku memanipulasi foto itu. Mereka takkan mau pergi dari sini, aku tahu. Kesempatan belajar ke luar negeri seperti ini memang suatu kesempatan langka yang sulit diperoleh. Namun aku takkan mengorbankan nyawaku demi hal semacam itu.

Akupun menuju ke kamarku dan dengan berat hati menghabiskan satu malam kembali di apartemen itu. Aku tak punya pilihan lain. Namun mengetahui bahwa besok aku akan kembali ke rumah membuatku sedikit tenang.

Namun seharusnya aku tak kembali ke apartemen itu, bahkan untuk semalam saja.

Sekitar waktu yang sama, jam 2 dini hari, suara itu kembali terdengar.

Suara langkah kaki kembali terdengar mendekati kamarku. Aku bahkan kali ini bisa mendengar suara napasnya, berat dan pelan. Aku langsung terduduk dengan panik dan kemudian menyadari hal yang mengerikan.

Aku belum mengunci kamarku.

Makhluk itu ada di luar dan sebelum sempat melompat dan mengunci pintu, pegangan pintu membuka.

Pintu terbuka dengan perlahan, menimbulkan suara berderit yang menyakitkan telinga.

Aku membeku tenggelam dalam ketakutan ketika aku akhirnya melihat wujudnya.

Matanya seakan menonjol dari tengkoraknya, bersinar agak kebiruan. Ia tak memiliki hidung, hanya celah kecl dimana lubang hidung seharusnya berada. Giginya seperti yang dimiliki manusia, namun ia tak memiliki bibir. Kulitnya kebau-abuan dan seakan hanya membungkus tulang2 di tubuhnya.

Setelah berhenti di muka pintu sejenak, ia mulai berjalan mendekatiku. Ketika ia bergerak, suara tulang2nya memberikan suara seakan retak. Nafasnya tak hanya terdengar seperti suara mendengus, namun mengeluarkan bau yang busuk. Seperti campuran sulfur dan daging membusuk.

Aku menjerit sekuat tenagaku.

Stephanie langsung terbangun seketika itu juga.

Dengan cepat makhluk itu merangkak dengan keempat kakinya dan berlari seperti laba2 keluar dari ruangan.

Stephanie tak sempat melihatnya dan mulai menjerit apa masalahku. Aku mencoba menjelaskan apa yang terjadi, namun ia hanya berdiri dan sambil menutup pintu kamar. Ia menyebutku gila.

Taksi datang menjemputku pagi2 buta. Bahkan matahari belumlah terbit. Tak ada satupun di antara ketiga gadis yang tinggal bersamaku mau mengantarku keluar. Aku sudah tahu hal itu akan terjadi. Namun begitu aku masuk ke dalam taksi dan kendaraan itu mulai berjalan, aku tak pernah merasa selega itu.

Ketika aku menyandarkan kepalaku dan melihat ke jendela, mencoba memandang apartemen itu untuk terakhir kalinya. Aku bisa melihat jendela kamarku dari dalam mobil dan lagi2 aku membeku ketakutan.

Di sana, di balik jendela, tampak makhluk itu.

Matanya tak berkedip, terpaku ke arahku.

Mulutnya yang tak berbibir melengkung, seolah sedang tersenyum. Menyeringai.

Aku mencoba memperingatkan mereka. Aku berusaha sekuat tenagaku untuk memperingatkan mereka bahaya yang ada di apartemen itu. Namun tak ada yang mendengarkanku. Aku benar2 tak kuasa menghentikan apa yang terjadi berikutnya.

Ketika aku kembali ke Amerika Serikat, aku mendapat telepon dari supervisorku.

Ketiga teman satu apartemenku telah menghilang. Tak ada satupun yang tahu dimana mereka.

Supervisorku sudah menghubungi pihak kepolisian, namun bahkan mereka pun tak dapat menemukan keberadaan ketiga temanku itu. Ketika mereka memeriksa apartemen, makanan2 yang ada di dalam sudah membusuk. Tak ada tanda2 seseorang memaksa masuk dan tak satupun barang berharga ditemukan hilang.

Satu2nya hal penting yang mereka rasakan ketika pertama tiba adalah bau seperti campuran sulfur dan sesuatu yang membusuk.

Bau itu berasal dari kamar mandi.

Seperti yang bisa kuduga, asalnya dari ruang rangkak itu.

Pihak berwajib memberikan pernyataan bahwa mereka diculik. Namun aku tahu kenyataannya.

Mereka sudah mati sekarang.

Aku merasa bersalah karena aku tak bisa menyelamatkan mereka.

Dengan menulis ini, aku ingin memperingatkan, apapun yang terjadi, jangan menyewa apartemen yang berharga sangat murah di Campo di Fiori itu. Berhati-hatilah jika kalian mengunjungi Roma.

Sekali bertemu dengannya, mungkin kalian takkan bisa meloloskan diri.
Sebab di rumahku juga terdapat ruang rangkak. Dan ketika aku mulai mencium bau belerang itu, aku memfoto bagian dalamnya dan inilah hasilnya.
Kurasa ia mengikutiku sampai ke rumah.

Kamu baru saja membaca tentang Kolong Ruangan di Langit-Langit Creepypasta

Baca Juga Cerita Lainnya

This website uses cookies to ensure you get the best experience on our website. Learn more